Jika Hukum Bobrok, Siapa yang Paling Bersalah? Sistem atau SDM?
Oleh : Arfian D Septiandri, S.Kom, MBA, CCA, CCSA, CIISA, C.ED Founder Bahu Prabowo
Renungan Hukum Bergaya Bahu Prabowo
Di banyak sudut negeri, kita sering mendengar keluhan:
“Hukum ini sudah rusak.”
“Keadilan seperti barang langka.”
Pertanyaan besar pun muncul:
Jika hukum bobrok, siapa yang seharusnya dipersalahkan? Sistemnya atau manusianya?
Pertanyaan ini sederhana, tapi jawabannya menyentuh akar kemanusiaan dan ketatanegaraan.
Mari kita bahas dengan bahasa rakyat, namun tetap bertumpu pada hukum—dan sedikit sentuhan renungan sufistik agar hati kita ikut tercerahkan.
Sistem: Rumahnya Hukum
Secara teori, hukum tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia dituangkan dalam:
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang (UU)
Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan Menteri, hingga
Peraturan Daerah
Itulah sistem hukum, rumah tempat segala aturan tinggal.
Jika rumahnya retak—pasal tumpang tindih, aturan kabur, penegakan tidak konsisten—maka siapapun yang tinggal di dalamnya ikut merasakan kerusakan.
Dalam banyak kasus, Mahkamah Konstitusi sendiri sering membatalkan aturan yang bertentangan dengan UUD 1945. Ini bukti bahwa sistem memang bisa salah, bisa rapuh, dan bisa menyebabkan ketidakadilan terjadi.
SDM: Penghuninya Hukum
Tetapi hukum bukan berjalan sendiri.
Hukum digerakkan oleh manusia:
Polisi
Jaksa
Hakim
Advokat
Pejabat publik
Bahkan masyarakat yang melapor atau tidak melapor.
Dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa:
“Peradilan dilakukan oleh hakim yang berintegritas, jujur, dan tidak memihak.”
Artinya jelas: sebaik apapun sistemnya,
jika manusianya rusak, hukum tetap pincang.
Ibarat pedang yang diasah tajam,
jika dipegang orang yang gelap hatinya,
maka pedang itu melukai orang tak bersalah.
Cermin Hukum Ada di Dalam Diri Kita
Hukum, bagaimanapun, adalah cermin.
Cermin itu memantulkan wajah bangsa.
Jika wajah kita gelap, cermin menampakkannya.
Jika hati manusia keruh, aturan pun menjadi buram.
Para sufi berkata:
“Kerusakan lahiriah selalu dimulai dari batin yang kotor.”
Begitu pula hukum:
ketika integritas retak,
ketika amanah diabaikan,
ketika jabatan mengalahkan nurani,
maka hukum tinggal nama, tinggal lembaran kertas,
tak lagi menjadi cahaya bagi yang mencari keadilan.
Jadi, Siapa yang Salah?
Jawabannya bukan memilih satu, tetapi keduanya saling terkait.
Sistem salah ketika aturan tumpul dan tidak melindungi rakyat kecil.
Sistem yang buruk memudahkan orang berbuat salah.
SDM salah ketika hati dan integritasnya tidak berdiri di pihak kebenaran.
Manusia yang buruk merusak aturan yang paling sempurna sekalipun.
Hukum baru jadi cahaya kalau:
sistemnya rapi, dan
manusianya jernih.
Contoh Kasus Sederhana
Korupsi Bansos
Aturannya jelas: bantuan harus sampai kepada rakyat.
Sistem jelas mengatur mekanisme distribusi.
Tetapi SDM—oknum tertentu—memotong, mengatur, bahkan mempermainkan.
Sistem benar, manusianya salah.
Sengketa Lahan
Kadang aturan tumpang tindih: RTRW satu berbunyi A, aturan kementerian B, putusan pengadilan C.
Masyarakat bingung, konflik muncul.
SDM sudah berusaha, tetapi sistemnya yang keliru.
Lalu Apa Solusinya? (Langkah Praktis untuk Rakyat)
1. Pahami hak-hak dasar Anda
Mulai dari aturan desa, kecamatan, sampai undang-undang.
Ketidaktahuan adalah pintu awal ketidakadilan.
2. Dokumentasikan setiap masalah
Foto, video, surat, bukti transfer—semua penting.
3. Cari pendamping hukum yang benar
Bisa dari LBH, advokat pro bono, atau lembaga resmi pemerintah.
4. Gunakan jalur keberatan / pengaduan
Di Indonesia ada banyak: Ombudsman, Komnas HAM, Komisi Yudisial, bahkan kanal pengaduan Polri dan Kejaksaan.
5. Dukung perbaikan sistem melalui partisipasi publik
Aspirasi masyarakat bisa mengubah regulasi.
Banyak undang-undang lahir karena tekanan publik.
Penutup: Hukum Tidak Pernah Benar-Benar Mati
Hukum mungkin goyah.
Orang-orang yang menjalankannya mungkin keliru.
Sistem mungkin bocor di sana-sini.
Namun harapan selalu ada.
Seperti kata para arif:
“Ketika gelap merata, satu cahaya kecil bisa menjadi penuntun arah.”
Semangat Bahu Prabowo adalah menjaga nyala cahaya itu—
cahaya keberanian,
cahaya advokasi,
cahaya keberpihakan kepada rakyat kecil.
Karena selama masih ada orang yang mau membela keadilan, hukum tidak akan benar-benar runtuh.
Ia hanya menunggu disentuh ulang oleh tangan yang jernih.
Sumber : Badan Hukum Prabowo (BAHU PRABOWO).
(Red).




