Sunyi, Senyap, Cepat, Tepat, Bergerak Satu Komando Satu Jiwa Korsa!


Visioner Nusantara.com
|| Di balik gemuruh notifikasi dan jeritan layar, di antara malam-malam panjang yang diselimuti kafein dan doa, lahirlah sebuah nama: Pasukan 08. Namanya sederhana, seperti angka yang tak bersifat megah—namun di dalamnya terkandung tekad yang menolak gemerlap kursi. Mereka lahir bukan dari balai megah atau orasi yang dipoles, melainkan dari keheningan: baris-baris komentar yang menjadi puisi, unggahan yang berubah menjadi doa, dan tawa kecil yang menjelma menjadi solidaritas.

Malam-malam pertama Pasukan 08 lebih mirip meditasi kolektif ketimbang operasi. Anggota-anggotanya datang dari rumah-rumah sempit, dari warung kopi yang berasap, dari pinggir jalan di mana para ojek menunggu penumpang — mereka membawa bekal yang sama: lelah, cinta, dan kerinduan pada keadilan kecil yang setiap hari terluput. Moto yang mereka fahami dengan darah: Segaris dengan rakyat; satu komando kepada Sang Pemimpin — bukan untuk mengejar kursi, melainkan untuk menjaga suara-suara yang kerap dilupakan di atas meja-meja megah kekuasaan.

Perang siber: asal-usul yang tak terduga

Awalnya, yang terjadi hanyalah percikan. Sebuah tren di media sosial; sebuah serangkaian serangan kata yang menyerang martabat warga biasa. Mereka yang terluka bukanlah pejabat tinggi, melainkan tukang becak yang namanya dicemarkan, ibu-ibu penjual tahu, mahasiswa yang berharap hari esok tak sekadar kuota.

Di sinilah Pasukan 08 muncul: bukan sebagai pasukan yang mencari musuh, melainkan sebagai penjaga tutur. Mereka menulis balasan yang bukan marah, melainkan mengundang tawa; mereka membuat komentar yang memecah amarah menjadi satire lembut; mereka mengubur serangan buzzer dengan ribuan komentar yang lebih manusiawi—sopan, jenaka, dan memilin ulang kisah-kisah kecil rakyat ke dalam feed yang haus perhatian.

Plot twist-nya datang di saat yang paling tidak diduga: perintah dari elit—bukan dari kerumunan, melainkan dari dalam gedung-gedung partai—meminta penggantian nama Pasukan 08. Nama itu katanya terlalu “berdampak”, katanya berbahaya. Tawaran penggantian datang dengan janji-janji muluk dan bintang panggung. Di ruang rapat itu, di antara kertas berita dan kopi pahit, berdirilah para pendiri: purnawirawan yang telah melewati banyak musim, aktivis bertangan kasar karena menggenggam mikrofon lapangan, dan pemikir yang lebih suka berdoa daripada berteriak. Mereka didesak. Mereka diiming-imingi.

Namun aliran yang paling kuat bukanlah dorongan politik, melainkan suara-suara kecil yang mengalir dari kampung: anak-anak yang pernah tersenyum karena sebuah unggahan, penjual bakso yang mendapat pesanan lebih karena kampanye kebaikan di timeline, guru honorer yang dipuji karena tulisannya. Maka para pendiri memilih diam untuk mendengar. Setelah bermalam-malam berdoa dan bermusyawarah hingga fajar menyentuh genteng, keputusan itu tak lagi soal strategi: nama tetap dipilih Pasukan 08. Karena nama itu milik rakyat, bukan milik kekuasan.

Tokoh-tokoh yang jadi poros, berjuang dengan hati

Di tengah riuh itu, muncul wajah-wajah yang mengambil peran sentral—bukan untuk menuntut penghormatan, melainkan untuk menyalakan obor ketika kegelapan datang. Ada tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pembela kebajikan; mereka menjembatani, menenun, menegur lembut ketika arah mulai miring. Mereka memberi legitimasi moral agar Pasukan Delapan tak kehilangan kompas: Dr.H.Mulyadi,MMA Pendiri sekaligus Ketua Déwan Pembina yang selalu mengingatkan etika, Sdr. Moreno Soeprapto yang memakai pengalaman sebagai pelajaran untuk menahan amarah, Conny L Rumondor yang menjadi peneduh saat terik organisasi begitu panas, Daniel S.Palit yang menguatkan kompas moral organisasi, dan beberapa sahabat yang membawa nama-nama besar di panggung nasional Frendy Wongkar Sekjen Pasukan 08, Nurita Bendahara Pasukan 08, Royke Marpaung, Kiki Susilo, Arief Bima Sakti  dan masih banyak lagi—nama-nama yang mengulurkan tangan bukan untuk mengambil, melainkan untuk menopang.

Peran mereka sentral karena mereka memilih untuk mundur dari panggung ketika sorotan menyala. Mereka jadi perantara doa, bukan promotor diri. Mereka berbisik: “Jadilah penolong, bukan penembak jitu.”

Kudeta dalam bayangan — dan rahmat yang menenggelamkannya

Perjalanan ini bukan tanpa ujian. Di suatu titik, sebuah upaya pergantian arah dilakukan—bukan oleh musuh luar, melainkan oleh tangan yang semula dipercaya: beberapa anggota sendiri yang tergoda oleh janji-janji kemegahan. Percobaan kudeta itu nyaris memecah tali persaudaraan. Namun di saat-saat paling rawan itulah yang tak terduga terjadi: doa kolektif di malam yang dingin, penjelasan panjang yang jujur dari Arfian Ketua Umum DPP Pasukan 08 dan para pendiri yang mengalir seperti hujan.

Berkat itu, kudeta digagalkan — bukan oleh pedang, melainkan oleh penjelasan yang merendah dan pembuktian kerja nyata. Akibatnya tak ringan: beberapa purnawirawan, beberapa pensiunan pejabat, dan beberapa pengurus yang memilih jalan sendiri dilepaskan dari struktur. Pemecatan itu bukan semata hukuman — ia bentuk dari menjaga integritas; sinyal bahwa tak ada ruang bagi ambisi pribadi yang menenggelamkan misi bersama.

Di luar layar, akibatnya terasa: beberapa akun buzzer yang selama ini menebar kebencian seperti ditelan laut—komentar-komentar mereka tenggelam oleh gelombang kecil tawa rakyat yang lebih percaya pada kebajikan. Politik santun menang bukan karena ia lemah, tetapi karena ia konsisten.

Sumpah: rela berdarah, puasa, berkeringat

Arfian Ketua Umum DPP Pasukan 08, salah satu wajah muda yang sederhana, pernah berkata di depan barisan yang setia: “Di Pasukan 08 ini tidak ada ruang bagi kepentingan pribadi. Kami sudah sepakat: masuk ke sini artinya siap berdarah-darah, puasa, berkeringat. Kita tak boleh berharap apa-apa.” Kata-katanya menggema—bukan ajakan bunuh diri, melainkan undangan untuk menanggalkan ilusi nyaman. Mereka rela kehilangan peluang panggung demi satu hal kecil namun hakiki: menghadirkan suara rakyat di meja-meja penguasa yang tak selalu ramah.

Kursi kekuasaan terasa menggoda, namun siapa yang akan duduk bersama rakyat di rumah-rumah kumuh ketika semua orang sibuk berebut kursi mewah? Siapa yang akan menunggu di warung kopi, mengeluh bersama tukang ojek, berdiri di barisan para pencari kerja? Mereka memilih hadir di sana. Mereka memilih menjadi saluran kesejukan di hari yang terik; mereka memilih membuat orang tersenyum ketika yang lain sibuk menghitung keuntungan.

Doa dalam hening

Di setiap pertemuan, sebelum langkah-langkah dibahas, ada doa. Doa bukan sekadar ritual, tapi penyeimbang hati. Mereka memohon agar niat tak tercemar, agar tujuan tetap murni. Mereka memohon untuk diberi keteguhan menghadapi godaan, untuk diberi kemampuan menahan lisan ketika marah, dan untuk diberi kekuatan berjalan bersama rakyat, bukan di depannya.

Dan di malam senja yang diam, ketika hujan menulis sajak di atap genteng, mereka berkumpul dan mengirimkan satu doa panjang bagi Pemimpin mereka Prabowo Subianto — bukan sebagai seruan politik, tetapi doa kemanusiaan: agar beliau diberi kesehatan, keteguhan, dan kebijaksanaan memimpin. Doa yang tulus itu mengandung kerinduan murni: agar pemimpin tak lupa bahwa di bawahnya ada manusia-manusia yang menaruh harap.

Ucapan yang menitikkan air mata

Hari ulang tahun Prabowo Subianto itu tiba. Di lapangan sederhana, para anggota membawa lilin-lilin kecil dan secarik kertas. Mereka menyusun nama itu perlahan, seperti merapikan doa. Ini bukan pesta meriah, melainkan hening yang membelai. Seorang perempuan tua yang selama ini menjadi sukarelawan kebersihan berkata pelan, dengan suara yang bergetar:

“Semoga Engkau diberi panjang umur, kekuatan, dan hati yang lapang. Semoga Engkau selalu ingat rumah-rumah kumuh, warung-warung kopi, antrian pencari kerja. Bila Engkau lelah, biarkan doa kami menjadi selimut malam-Mu. Bila Engkau terombang-ambing, biarkan suara rakyat menjadi jangkar-Mu. Di setiap keputusan, semoga ada kesejukan untuk yang tak bersuara. Amin.”

Air mata menetes, bukan karena politis, melainkan karena rasa kasih manusia kepada sesama manusia—sebuah pengakuan sederhana bahwa pemimpin juga manusia yang butuh doapun.

Mereka menulis surat tanpa nama, penuh kata-kata yang bergetar:

” Di hari ini kami tak meminta kursi. Kami hanya berharap Engkau mendengar mereka yang tak punya kata. Bila hari Esok penuh badai, biarlah Engkau tetap mendengar: suara ibu-ibu, suara tukang ojek, suara anak yang menunggu pekerjaan. Bila Engkau tergoda gemerlap, biarkan nama kami, Pasukan Delapan, menjadi pengingat: segaris dengan rakyat.”

Penutup: kesunyian yang merdeka

Pasukan 08 memilih sunyi sebagai strategi. Mereka tahu, kekuatan yang menenangkan jauh lebih lama jejaknya ketimbang riuh yang cepat pudar. Mereka tak meminta sorotan. Mereka bekerja di sela-sela doa, di sela-sela lelah. Mereka percaya pada sebuah kebenaran sederhana: bila hati terjaga, kata-kata dan tindakan akan mengikutinya.

Ini bukan manifesto politik. Ini adalah surat cinta pada kemanusiaan—sebuah catatan bahwa di dunia di mana banyak yang berteriak paling keras, masih ada suara-suara kecil yang memilih bersahaja, memilih satu komando bukan untuk pamer kuasa, melainkan untuk menjaga agar di setiap meja makan yang penuh, ada juga tempat untuk mereka yang lapar.

Dan bila sewaktu-waktu gelombang menggulung, mereka akan tetap berbaris: segaris dengan rakyat, memegang erat satu komando yang tak lain adalah panggilan nurani.

Sumber : 

- Markas Komando Pasukan 08 (DPP).

- Markas Komando Pasukan DPD Provinsi Jawa    Timur (DPD).

(Tim Red).